Oleh : Il
Tuhan menyuruh Gideon berangkat hanya dengan 300 orang saja.
Kemudian setelah orang Midian tercerai berai, Gideon meminta bantuan suku Naftali, Asyer dan Efraim (Hakim-hakim 7:23-24).
Suku Efraim berhasil menangkap dan membunuh 2 raja Midian yaitu Oreb dan Zeeb.
Namun apa yang terjadi kemudian?
Orang-orang Efraim dengan emosi tinggi marah kepada Gideon karena dianggap melewatkan suku Efraim, sehingga tidak diajak menyerang Midian pada kesempatan pertama.
Ckckck…
Momen kemenangan malah dirusak oleh ketersinggungan suku Efraim. Sehingga mereka menantang dan melawan Gideon dengan sangat (Argued heatedly -NLT; contended vigorously – NASB).
Untunglah jawaban yang bijak dan rendah hati dari Gideon dapat meredakan amarah orang Efraim, sehingga tidak terjadi perang saudara.
Hakim-hakim 8:1-3
Lalu berkatalah orang-orang Efraim kepada Gideon: “Apa macam perbuatanmu ini terhadap kami! Mengapa engkau tidak memanggil kami, ketika engkau pergi berperang melawan orang Midian?” Lalu mereka menyesali dia dengan sangat.
Jawabnya kepada mereka: “Apa perbuatanku dalam hal ini, jika dibandingkan dengan kamu? Bukankah pemetikan susulan oleh suku Efraim lebih baik hasilnya dari panen buah anggur kaum Abiezer?
Allah telah menyerahkan kedua raja Midian itu, yakni Oreb dan Zeeb, ke dalam tanganmu; apa yang telah dapat kucapai, jika dibandingkan dengan kamu?” Setelah ia berkata demikian, maka redalah marah mereka terhadap dia.
Perenungan:
- Suku Efraim begitu marah kepada Gideon.
Mereka lebih mempermasalahkan ego daripada mementingkan pekerjaan Tuhan.
Bagi Efraim, kemenangan Israel terhadap musuh dinilai sebagai prestasi pribadi. Mereka tidak melihat hal tersebut sebagai kemenangan dari Tuhan yang membebaskan umat-Nya dari musuh Tuhan. - Gideon memiliki kualitas pemimpin yang sangat baik.
Gideon lebih mementingkan kesatuan daripada mencari pengakuan. Ia memberikan jawaban yang bijak dan sangat rendah hati.
Gideon tidak mengijinkan kemenangan dari Tuhan dirusak oleh kepentingan diri atau sekelompok orang.
Aplikasi:
- Apakah yang lebih kita utamakan dalam hidup kita?
Pencapaian diri, pengakuan atas prestasi diri ataukah kepentingan pekerjaan Tuhan? - Ketika masalah muncul, apakah perkataan kita lebih mencerminkan pembelaan diri ataukah lebih mementingkan pekerjaan Tuhan?